Melanjutkan Indonesia
Beberapa tahun terakhir, kehendak untuk mengukuhan Hari Santri
secara nasional muncul di mana-mana. Di tingkat akar rumput, dengan
berbagai cara ungkap dan salurannya, ada begitu banyak prakarsa yang
mencerminkan kuatnya kehendak tersebut. Sementara pada tingkat nasional,
wacana “Hari Santri” mengemuka pada banyak pernyataan tokoh, pejabat
publik, forum diskusi, dan peliputan media massa.
Secara khusus, sejumlah Organisasi Masyarakat yang terhimpun dalam
Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) bersama-sama menyepakati
pentingnya pengukuhan hari santri. Dua belas ormas tersebut ialah
Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Islam Indonesia (SII), Persatuan Islam
(PERSIS), Al Irsyad Al Islamiyyah, Mathlaul Anwar, Al-Ittihadiyah,
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Ikatan DA’I Indonesia
(IKADI), Azzikra, Al-Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI),
dan Persatuan Umat Islam (PUI). Beriringan dengan itu, TNI Angkatan Laut
dan Kementerian Agama jua mengadakan persiapan untuk menyongsong
peringatan Hari Santri.
Mengapa Hari santri?
Di sepanjang jalur kesejarahannya, keutuhan Indonesia berkali-kali
diuji. Dalam tiap ujian itu, santri selalu hadir menjaminkan diri untuk
mengawal keutuhan tersebut. Jauh sebelum diproklamasikan, bagi santri,
Indonesia atau nusantara merupakan tanah-air yang wajib dibela. Tidak
sempurna keimanan seseorang, hingga ia mencintai tanah-airnya. Kesadaran
bertanah-air ini hidup melalui jaringan pengetahuan dan gerakan yang
tersebar di seantero pulau dengan masjid, pondok pesantren, dan tarekat
sebagai simpul-simpul utamanya.
Dalam kenyataan, Santri adalah masyarakat Indonesia yang beragama
Islam, bukan sekadar muslim yang kebetulan berada di Indonesia. Dengan
pengertian ini, segala jenis usaha pembenturan santri dengan
kelompok-kelompok lain di negeri ini sudah pasti mentah. Kecintaan
terhadap tanah air selalu mengatasi sentimen kelompok.
Membela tanah-air berarti membela agama. Hal ini merupakan sesuatu
yang secara spiritual diyakini, secara gagasan dipikirkan, dan secara
empiris dikerjakan. Kenyataan yang demikian ini terus-menerus meluas
dalam ruang dan memanjang dalam waktu. Meluas dalam ruang sebab
kesadaran bertanah air diungkapkan di banyak tempat dengan ekspresi yang
sangat beragam. Memanjang dalam waktu sebab terdapat mata-rantai
pengetahuan dan tradisi yang terus-menerus bersambung.
Hari santri perlu dikukuhkan dan diperingati sekurang-kurangnya
karena dua alasan. Pertama, sebagai penghormatan atas jasa pahlawan.
Pengakuan semacam ini penting bagi generasi sekarang agar tak tercerabut
dari kampung halaman sejarahnya. Kedua, sebagai pembangkit patriotisme.
Ini relevan sebab sejumlah gagasan yang belakangan bermunculan di
Indonesia tidak banyak yang sungguh-sungguh memiliki komitmen
keindonesiaan.
Mengapa 22 Oktober?
Hari Santri bukan sebatas hari orang Islam. Hari Santri ialah hari
Orang Indonesia yang beragama Islam. Karenanya, hari santri bukan
sejenis hari raya yang bisa diperingati secara universal di seluruh
dunia. Sudah semestinya momen yang dipilih merepresentasikan substansi
kesantrian, yakni spiritualitas dan patriotisme. Dalam konteks global,
substansi ini merupakan anugerah yang belum tentu dimiliki umat Islam di
belahan bumi lain.
Dari sejumlah aspirasi yang berkembang selama ini, tanggal 22 Oktober
1945 merupakan pilihan yang paling mewakili substansi tersebut. Inilah
tanggal ketika Mahaguru Kyai Hasyim Asy’ari mengumumkan fatwanya yang
masyhur disebut sebagai Resolusi Jihad.
Resolusi jihad lahir melalui musyawarah ratusan kyai-kyai dari
berbagai daerah di Indonesia untuk merespon agresi Belanda yang kedua.
Resolusi jihad memuat seruan-seruan penting yang memungkinkan Indonesia
tetap bertahan dan berdaulat sebagai negara dan bangsa. Fatwa ini
menyerukan bahwa setiap muslim wajib memerangi orang kafir yang
merintangi kemerdekaan Indonesia, pejuang yang mati dalam medan perang
kemerdekaan disebut syuhada, dan warga negara Indonesia yang memihak
penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan dan harus dihukum
mati.
Dalam situasi kritis dan darurat, mempertahankan kemerdekaan
tanah-air bernilai fardlu ‘ain (wajib secara perseorangan) dan
kehilangan nyawa akibat daripadanya merupakan syahid. Berbeda dengan
pihak-pihak yang menggunakan doktrin jihad sebagai dasar aksi teror,
jihad dalam keyakinan santri menyatu dengan kesadaran bertanah-air.
Tanah air, bagi santri, adalah urusan hidup-mati. Kutipan berikut
menunjukkan bagaimana spiritualitas dan patriotisme hadir dalam rumusan
yang padu dan menggugah:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang
haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean,
anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak
lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi
orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu
djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian
sadja)…”
Fatwa ini selama berpuluh-puluh tahun kemudian tetap segar dan hidup
dalam ingatan kolektif banyak orang di berbagai penjuru Indonesia. Ini
bukan sesuatu yang mengherankan. Sebab, dilihat sebagai kurva peristiwa,
Resolusi Jihad memang mengakar pada mata rantai perjuangan yang panjang
dan menggerakkan begitu banyak kekuatan rakyat. Penelitian sejarah atas
peristiwa ini memperlihatkan bahwa, dari segi substansi dan jaringan
gerakan, Resolusi Jihad bisa ditarik jauh hingga masa Perang Jawa seabad
sebelumnya. Pada kronika berikutnya, Resolusi Jihad menjadi preseden
yang memungkinkan rentetan peristiwa monumental lain. 10 November yang
diperingati sebagai Hari Pahlawan merupakan akibat lanjutan peristiwa 22
Oktober. Dalam takaran akal sehat, bahkan sulit membayangkan proklamasi
17 Agustus 1945 bisa diselenggarakan andai tidak didahului Resolusi
Jihad.
Hari Santri adalah penanda dengan spirtualitas dan patriotism sebagai
acuan maknanya. Maka, mengukuhkan 22 Oktober sebagai Hari Santri ialah
usaha menyambung sejarah, ialah ikhtiar melanjutkan Indonesia
Alasan Hari Santri Menurut Gus Rozien
Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (RMI
NU) KH Abdul Ghoffar Rozien menyerukan agar Presiden Joko Widodo
menepati janjinya dalam kampanye. Jika Presiden pernah mengusulkan 1
Muharam, RMI berpendapat 22 Oktober lebih tepat karena alasan historis.
<>
“Ribuan pesantren dan jutaan santri sudah menunggu keputusan Presiden terkait dengan Hari Santri Nasional. Kebijakan itu, menguatkan marwah negara,” ungkap Rozien
Ia mengatakan, langkah presiden Jokowi sudah tepat untuk memberikan penghormatan kepada santri, karena jasa-jasa pesantren di masa lalu yang luar biasa untuk memperjuangkan kemerdekaan serta mengawal kokohnya NKRI,” terang Gus Rozien.
Menurut Gus Rozien, latar belakang pentingnya Hari Santri Nasional adalah untuk menghormati sejarah perjuangan bangsa ini. “Hari Santri Nasional tidak sekadar memberi dukungan terhadap kelompok santri. Justru, inilah penghormatan negara terhadap sejarahnya sendiri. Ini sesuai dengan ajaran Bung Karno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, Jas Merah!” tegasnya.
Tiga Alasan Dasar
Gus Rozien menambahkan, ada tiga argumentasi utama yang menjadikan Hari Santri Nasional sebagai sesuatu yang strategis bagi negara. “Pertama, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 November 1945,” ungkap Gus Rozien.
Kedua, lanjutnya, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kiai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (daerah Islam) pada pertemuan para kiai di Banjarmasin, 1936.
“Sepuluh tahun berdirinya NU dan sembilan tahun sebelum kemerdekaan, kiai-santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Ini konsep yang luar biasa,” tegas Gus Rozien.
Rumusan ketiga, ungkap Gus Rozien, yakni kelompok santri dan kiai-kiai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Para kiai dan santri selaluh berada di garda depan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila. Pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan,” jelas Gus Rozien.
Dengan demikian, Gus Rozien menambahkan, Hari Santri bukan lagi sebagai usulan ataupun permintaan dari kelompok pesantren. “Ini wujud dari hak negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri. Kontribusi pesantren kepada negara ini, sudah tidak terhitung lagi,” tegas Rozien.
Sementara, adanya kritik terhadap rencana penetapan Hari Santri Nasional, menurut Gus Rozien merupakan hal yang wajar. “Itu merupakan hak bagi setiap individu maupun kelompok untuk memberikan kritik. Kami merespon dengan baik dan santun. Akan tetapi, jelas argumentasi epistemiknya lemah jika menggunakan teori Gertz, yang sudah dikritik sendiri oleh kolega-koleganya, semisal Talal Asad, Andrew Beatty, Mark R Woodward, dan beberapa peneliti lain. Selain itu, kelompok abangan juga sudah banyak yang melebur menjadi santri,” terang Rozien.
<>
“Ribuan pesantren dan jutaan santri sudah menunggu keputusan Presiden terkait dengan Hari Santri Nasional. Kebijakan itu, menguatkan marwah negara,” ungkap Rozien
Ia mengatakan, langkah presiden Jokowi sudah tepat untuk memberikan penghormatan kepada santri, karena jasa-jasa pesantren di masa lalu yang luar biasa untuk memperjuangkan kemerdekaan serta mengawal kokohnya NKRI,” terang Gus Rozien.
Menurut Gus Rozien, latar belakang pentingnya Hari Santri Nasional adalah untuk menghormati sejarah perjuangan bangsa ini. “Hari Santri Nasional tidak sekadar memberi dukungan terhadap kelompok santri. Justru, inilah penghormatan negara terhadap sejarahnya sendiri. Ini sesuai dengan ajaran Bung Karno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, Jas Merah!” tegasnya.
Tiga Alasan Dasar
Gus Rozien menambahkan, ada tiga argumentasi utama yang menjadikan Hari Santri Nasional sebagai sesuatu yang strategis bagi negara. “Pertama, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 November 1945,” ungkap Gus Rozien.
Kedua, lanjutnya, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kiai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (daerah Islam) pada pertemuan para kiai di Banjarmasin, 1936.
“Sepuluh tahun berdirinya NU dan sembilan tahun sebelum kemerdekaan, kiai-santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Ini konsep yang luar biasa,” tegas Gus Rozien.
Rumusan ketiga, ungkap Gus Rozien, yakni kelompok santri dan kiai-kiai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Para kiai dan santri selaluh berada di garda depan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila. Pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan,” jelas Gus Rozien.
Dengan demikian, Gus Rozien menambahkan, Hari Santri bukan lagi sebagai usulan ataupun permintaan dari kelompok pesantren. “Ini wujud dari hak negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri. Kontribusi pesantren kepada negara ini, sudah tidak terhitung lagi,” tegas Rozien.
Sementara, adanya kritik terhadap rencana penetapan Hari Santri Nasional, menurut Gus Rozien merupakan hal yang wajar. “Itu merupakan hak bagi setiap individu maupun kelompok untuk memberikan kritik. Kami merespon dengan baik dan santun. Akan tetapi, jelas argumentasi epistemiknya lemah jika menggunakan teori Gertz, yang sudah dikritik sendiri oleh kolega-koleganya, semisal Talal Asad, Andrew Beatty, Mark R Woodward, dan beberapa peneliti lain. Selain itu, kelompok abangan juga sudah banyak yang melebur menjadi santri,” terang Rozien.
SUMBER: www.nu.or.id , www.harisantri.id
Jika Kebanyakan teman-teman di facebook, bbm, mempringati hari santri dengan cara membuat profil picture yang disampingnya ada embel-embel Resolusi Jihad Hari santri 22 Oktober dan di sampingnya di berifoto pribadi. Sya lebih suka mempringatinya dengan menuliskan di blog ini Refleksi dari hari santri itu sendiri. Menurut saya Hari santri ini memang memiliki historis dan tujuan yang baik. Agar kita selalu ingat bahwa Islam mengajarkan kita untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan. Tidak hanya mengurusi ihwal syariah saja naum juga Hubbul Wathon (Cinta Tanah Air). Dua Kalimat untuk islam yaitu Universal dan Rahmatan Lil alamin. Dari ngendikanipun KH. Hasyim Asyari yang sebagaimana sudah di jelaskan diatas. Beliau merupakan pencetus dari Resolusi Jihad yang sampai sekarang Jasanya Selalu di kenang dan di lanjutkan oleh santri dan penerus-penerus bangsa untuk menjaga keutuhan dan perdamain di Tanah Air Tercinta. Sampai sampai IJtihad Hukum dari Cinta Tanah air ini adalah Fardhu Kifayah.
Di Semarang, akan diadakan Kirab Hari Santri di simpanglima. Yang mana pesertanya adalah semua pondok pesantren yang ada di Semarang. Selain itu ada prosesi pagelaran rabana dan penghargaan bagi santri yang berprestasi.
Kesimupulannya adalah Saya Cinta Indonesia. Saya Cinta Tanah Air. Saya banggga menjadi Santri. :)
Untuk santri, tetaplah selalu berijtihad dan jagalah perdamaian dan keutuhan negara kita. Berkontribusilah dalam setiap lini kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan. Berbuatlah semampumu untuk bisa ikut serta dalam membangun Peradaban Indonesia yang lebih baik. Mari singkirkan pemikiran-pemikiran dan prilaku yang membuat kita lupa akan tanggungjawab. Sadiri, Kita diciptakan dengan potensi, kemmpuan dan keadaan yang berbeda. Namun jangan sampai hal itu membuat kita kecil dan kerdil. Ambilah pelajaran dan cari sisi positifnya agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi. Belajar, Belajar, dan Terus Belajar.
Selamat Mempringati Hari santri Nasional :D
Semarang, 21 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar