Kamis, 20 Oktober 2016

Refleksi Hari Santri 22 Oktober 2016

Melanjutkan Indonesia 

Beberapa tahun terakhir, kehendak untuk mengukuhan Hari Santri secara nasional muncul di mana-mana. Di tingkat akar rumput, dengan berbagai cara ungkap dan salurannya, ada begitu banyak prakarsa yang mencerminkan kuatnya kehendak tersebut. Sementara pada tingkat nasional, wacana “Hari Santri” mengemuka pada banyak pernyataan tokoh, pejabat publik, forum diskusi, dan peliputan media massa.
Secara khusus, sejumlah Organisasi Masyarakat yang terhimpun dalam Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) bersama-sama menyepakati pentingnya pengukuhan hari santri. Dua belas ormas tersebut ialah Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Islam Indonesia (SII), Persatuan Islam (PERSIS), Al Irsyad Al Islamiyyah, Mathlaul Anwar, Al-Ittihadiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Ikatan DA’I Indonesia (IKADI), Azzikra, Al-Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan Persatuan Umat Islam (PUI). Beriringan dengan itu, TNI Angkatan Laut dan Kementerian Agama jua mengadakan persiapan untuk menyongsong peringatan Hari Santri.

Mengapa Hari santri?

Di sepanjang jalur kesejarahannya, keutuhan Indonesia berkali-kali diuji. Dalam tiap ujian itu, santri selalu hadir menjaminkan diri untuk mengawal keutuhan tersebut. Jauh sebelum diproklamasikan, bagi santri, Indonesia atau nusantara merupakan tanah-air yang wajib dibela. Tidak sempurna keimanan seseorang, hingga ia mencintai tanah-airnya. Kesadaran bertanah-air ini hidup melalui jaringan pengetahuan dan gerakan yang tersebar di seantero pulau dengan masjid, pondok pesantren, dan tarekat sebagai simpul-simpul utamanya.
Dalam kenyataan, Santri adalah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, bukan sekadar muslim yang kebetulan berada di Indonesia. Dengan pengertian ini, segala jenis usaha pembenturan santri dengan kelompok-kelompok lain di negeri ini sudah pasti mentah. Kecintaan terhadap tanah air selalu mengatasi sentimen kelompok.
Membela tanah-air berarti membela agama. Hal ini merupakan sesuatu yang secara spiritual diyakini, secara gagasan dipikirkan, dan secara empiris dikerjakan. Kenyataan yang demikian ini terus-menerus meluas dalam ruang dan memanjang dalam waktu. Meluas dalam ruang sebab kesadaran bertanah air diungkapkan di banyak tempat dengan ekspresi yang sangat beragam. Memanjang dalam waktu sebab terdapat mata-rantai pengetahuan dan tradisi yang terus-menerus bersambung.
Hari santri perlu dikukuhkan dan diperingati sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, sebagai penghormatan atas jasa pahlawan. Pengakuan semacam ini penting bagi generasi sekarang agar tak tercerabut dari kampung halaman sejarahnya. Kedua, sebagai pembangkit patriotisme. Ini relevan sebab sejumlah gagasan yang belakangan bermunculan di Indonesia  tidak banyak yang sungguh-sungguh memiliki komitmen keindonesiaan.

Mengapa 22 Oktober?

Hari Santri bukan sebatas hari orang Islam. Hari Santri ialah hari Orang Indonesia yang beragama Islam. Karenanya, hari santri bukan sejenis hari raya yang bisa diperingati secara universal di seluruh dunia. Sudah semestinya momen yang dipilih merepresentasikan substansi kesantrian, yakni spiritualitas dan patriotisme. Dalam konteks global, substansi ini merupakan anugerah yang belum tentu dimiliki umat Islam di belahan bumi lain.
Dari sejumlah aspirasi yang berkembang selama ini, tanggal 22 Oktober 1945 merupakan pilihan yang paling mewakili substansi tersebut. Inilah tanggal ketika Mahaguru Kyai Hasyim Asy’ari mengumumkan fatwanya yang masyhur disebut sebagai Resolusi Jihad.
Resolusi jihad lahir melalui musyawarah ratusan kyai-kyai dari berbagai daerah di Indonesia untuk merespon agresi Belanda yang kedua. Resolusi jihad memuat seruan-seruan penting yang memungkinkan Indonesia tetap bertahan dan berdaulat sebagai negara dan bangsa. Fatwa ini menyerukan bahwa setiap muslim wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia, pejuang yang mati dalam medan perang kemerdekaan disebut syuhada, dan warga negara Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan dan harus dihukum mati.
Dalam situasi kritis dan darurat, mempertahankan kemerdekaan tanah-air bernilai fardlu ‘ain (wajib secara perseorangan) dan kehilangan nyawa akibat daripadanya merupakan syahid. Berbeda dengan pihak-pihak yang menggunakan doktrin jihad sebagai dasar aksi teror, jihad dalam keyakinan santri menyatu dengan kesadaran bertanah-air. Tanah air, bagi santri, adalah urusan hidup-mati. Kutipan berikut menunjukkan bagaimana spiritualitas dan patriotisme hadir dalam rumusan yang padu dan menggugah:
“Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja)…”
Fatwa ini selama berpuluh-puluh tahun kemudian tetap segar dan hidup dalam ingatan kolektif banyak orang di berbagai penjuru Indonesia. Ini bukan sesuatu yang mengherankan. Sebab, dilihat sebagai kurva peristiwa, Resolusi Jihad memang mengakar pada mata rantai perjuangan yang panjang dan menggerakkan begitu banyak kekuatan rakyat. Penelitian sejarah atas peristiwa ini memperlihatkan bahwa, dari segi substansi dan jaringan gerakan, Resolusi Jihad bisa ditarik jauh hingga masa Perang Jawa seabad sebelumnya. Pada kronika berikutnya, Resolusi Jihad menjadi preseden yang memungkinkan rentetan peristiwa monumental lain. 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan merupakan akibat lanjutan peristiwa 22 Oktober. Dalam takaran akal sehat, bahkan sulit membayangkan proklamasi 17 Agustus 1945 bisa diselenggarakan andai tidak didahului Resolusi Jihad.
Hari Santri adalah penanda dengan spirtualitas dan patriotism sebagai acuan maknanya. Maka, mengukuhkan 22 Oktober sebagai Hari Santri ialah usaha menyambung sejarah, ialah ikhtiar melanjutkan Indonesia


Alasan Hari Santri Menurut Gus Rozien

Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) KH Abdul Ghoffar Rozien menyerukan agar Presiden Joko Widodo menepati janjinya dalam kampanye. Jika Presiden pernah mengusulkan 1 Muharam, RMI berpendapat 22 Oktober lebih tepat karena alasan historis.
<>
“Ribuan pesantren dan jutaan santri sudah menunggu keputusan Presiden terkait dengan Hari Santri Nasional. Kebijakan itu, menguatkan marwah negara,” ungkap Rozien

Ia mengatakan, langkah presiden Jokowi sudah tepat untuk memberikan penghormatan kepada santri, karena jasa-jasa pesantren di masa lalu yang luar biasa untuk memperjuangkan kemerdekaan serta mengawal kokohnya NKRI,” terang Gus Rozien.

Menurut Gus Rozien, latar belakang pentingnya Hari Santri Nasional adalah untuk menghormati sejarah perjuangan bangsa ini. “Hari Santri Nasional tidak sekadar memberi dukungan terhadap kelompok santri. Justru, inilah penghormatan negara terhadap sejarahnya sendiri. Ini sesuai dengan ajaran Bung Karno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, Jas Merah!” tegasnya.

Tiga Alasan Dasar

Gus Rozien menambahkan, ada tiga argumentasi utama yang menjadikan Hari Santri Nasional sebagai sesuatu yang strategis bagi negara. “Pertama, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober, menjadi ingatan sejarah tentang Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari. Ini peristiwa penting yang menggerakkan santri, pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial, yang puncaknya pada 10 November 1945,” ungkap Gus Rozien.

Kedua, lanjutnya, jaringan santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan. Perjuangan para kiai jelas menjadi catatan sejarah yang strategis, bahkan sejak kesepakatan tentang darul islam (daerah Islam) pada pertemuan para kiai di Banjarmasin, 1936.

“Sepuluh tahun berdirinya NU dan sembilan tahun sebelum kemerdekaan, kiai-santri sudah sadar pentingnya konsep negara yang memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Ini konsep yang luar biasa,” tegas Gus Rozien.

Rumusan ketiga, ungkap Gus Rozien, yakni kelompok santri dan kiai-kiai terbukti mengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Para kiai dan santri selaluh berada di garda depan untuk mengawal NKRI, memperjuangan Pancasila. Pada Muktamar NU di Situbondo, 1984, jelas sekali tentang rumusan Pancasila sebagai dasar negara. Bahwa NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan,” jelas Gus Rozien.

Dengan demikian, Gus Rozien menambahkan, Hari Santri bukan lagi sebagai usulan ataupun permintaan dari kelompok pesantren. “Ini wujud dari hak negara dan pemimpin bangsa, memberikan penghormatan kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para kiai dan santri. Kontribusi pesantren kepada negara ini, sudah tidak terhitung lagi,” tegas Rozien.

Sementara, adanya kritik terhadap rencana penetapan Hari Santri Nasional, menurut Gus Rozien merupakan hal yang wajar. “Itu merupakan hak bagi setiap individu maupun kelompok untuk memberikan kritik. Kami merespon dengan baik dan santun. Akan tetapi, jelas argumentasi epistemiknya lemah jika menggunakan teori Gertz, yang sudah dikritik sendiri oleh kolega-koleganya, semisal Talal Asad, Andrew Beatty, Mark R Woodward, dan beberapa peneliti lain. Selain itu, kelompok abangan juga sudah banyak yang melebur menjadi santri,” terang Rozien.
 
SUMBER: www.nu.or.id , www.harisantri.id

Jika Kebanyakan teman-teman di facebook, bbm, mempringati hari santri dengan cara membuat profil picture yang disampingnya ada embel-embel Resolusi Jihad Hari santri 22 Oktober dan di sampingnya di berifoto pribadi. Sya lebih suka mempringatinya dengan menuliskan di blog ini Refleksi dari hari santri itu sendiri. Menurut saya Hari santri ini memang memiliki historis dan tujuan yang baik. Agar kita selalu ingat bahwa Islam mengajarkan kita untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan. Tidak hanya mengurusi ihwal syariah saja naum juga Hubbul Wathon (Cinta Tanah Air). Dua Kalimat untuk islam yaitu Universal dan Rahmatan Lil alamin. Dari ngendikanipun KH. Hasyim Asyari yang sebagaimana sudah di jelaskan diatas. Beliau merupakan pencetus dari Resolusi Jihad yang sampai sekarang Jasanya Selalu di kenang dan di lanjutkan oleh santri dan penerus-penerus bangsa untuk menjaga keutuhan dan perdamain di Tanah Air Tercinta. Sampai sampai IJtihad Hukum dari Cinta Tanah air ini adalah Fardhu Kifayah.

Di Semarang, akan diadakan Kirab Hari Santri di simpanglima. Yang mana pesertanya adalah semua pondok pesantren yang ada di Semarang.  Selain itu ada prosesi pagelaran rabana dan penghargaan bagi santri yang berprestasi. 

Kesimupulannya adalah Saya Cinta Indonesia. Saya Cinta Tanah Air.  Saya banggga menjadi Santri. :)
Untuk santri, tetaplah selalu berijtihad dan jagalah perdamaian dan keutuhan negara kita. Berkontribusilah dalam setiap lini kehidupan baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan. Berbuatlah semampumu untuk bisa ikut serta dalam membangun Peradaban Indonesia yang lebih baik. Mari singkirkan pemikiran-pemikiran dan prilaku yang membuat kita lupa akan tanggungjawab. Sadiri, Kita diciptakan dengan potensi, kemmpuan dan keadaan yang berbeda. Namun jangan sampai hal itu membuat kita kecil dan kerdil. Ambilah pelajaran dan cari sisi positifnya agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi. Belajar, Belajar, dan Terus Belajar.

Selamat Mempringati Hari santri Nasional :D

Semarang, 21 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar