Fenomena Laten
Setiap organisasi, tidak terkecuali organisasi
pendidikan, senantiasa bergulat dengan kebijakan-kebijakan. Untuk organisasi
pendidikan tinggi (PT), dalam lingkup eksternal, senantiasa terikat
dengan kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi, baik dalam bentuk Undang-undang
(UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permendiknas) maupun
sekedar Surat Edaran Dirjen Dikti. Dalam lingkup internal, khususnya PT Swasta
(PTS), selalu terikat dengan kebijakan-kebijakan Yayasan sebagai Badan
Pengelola PTS. Intinya setiap denyut nadi kehidupan organisasi senantiasa
terkait dengan kebijakan, dan karena itu setiap anggota organsinasi sudah
sangat terbiasa dengan kebijakan-kebijakan. Namun ironisnya tidak banyak
kebijakan yang dapat diimplementasikan secara benar, dalam arti sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kebijakan. Sebagai contoh adalah
kebijakan Tridarma Perguruan Tinggi. Dari tiga darma PT, yakni: pengajaran,
penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, praktis hanya darma pengajaran saja
yang dapat diimplementasikan oleh PT. Itu pun hanya dalam artian formal,
yaitu menyangkut pelaksanaan pengajaran di kelas secara kuantitas. Sedangkan
dalam artian material, yaitu terkait dengan penguasaan materi kuliah secara
kualitas, belum terjamin. Alih-alih, darma yang kedua (penelitian) dan
ketiga (pengabdian pada masyarakat) amat sangat sedikit sekali tersentuh.
Sebagai bukti, lihatlah aktivitas penelitian di PT yang amat langka. Yang ramai
hanya kegiatan penelitian mahasiswa untuk kepentingan penulisan karya ilmiah
(skripsi, tesis dan disertasi). Sedangkan kegiatan penelitian oleh dosen,
sangat sepi. Demikian pula pengabdian pada masyarakat, juga senyap. Kegiatan
pengabdian pada masyarakat muncul kalau sedang ada kejadian-kejadian insidental
seperti bencana alam. Sementara itu, kegiatan-kegiatan pengabdian pada
masyarakat yang terencana, terstruktur, terpola dan terorganisasi dengan baik
dalam rangka pemberdayaan masyarakat nyaris tidak mengemuka.
Ini belum termasuk berbagai kebijakan administratif, akademik,
dan pelayanan pendidikan kepada mahasiswa yang juga senantiasa kedodoran.
Pelayanan prima seperti tidak pernah singgah di kampus. Dalam berbagai urusan,
mahasiswa banyak sekali yang mengeluh. Ini merupakan pertanda bahwa
implementasi kebijakan di PT sangat lemah dan bahkan cenderung laten.
Kecenderungan yang sama juga terjadi di lembaga-lembaga
kursus. Nyaris tidak ada lembaga kursus yang mampu memberikan pelayanan secara
prima kepada peserta didik. Yang terdengar hampir setiap hari adalah keluhan
demi keluhan. Dari soal pelayanan akademis sampai pelayanan administratif,
bahkan juga di luar itu seperti kebersihan toilet, keamanan, parkir, dan
lain-lain. Hal ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan di
bergagai lembaga pendidikan memang betul-betul lemah dan laten.
Pertanyaan
Kritis
Fenomena laten tersebut mengundang satu pertanyaan kritis: Mengapa implementasi
kebijakan di lembaga-lembaga pendidikan tidak berjalan dengan baik?
Kajian Teori
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu
disajikan beberapa teori yang relevan, khususnya teori kebijakan, kepemimpinan
dan komitmen organisasi.
Kebijakan
Dunn menjelaskan bahwa secara etimologis, istilah
kebijakan atau policy berasal dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan Latin.
Akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta polis (negara kota) dan pur
(kota) yang dikembangkan dalam bahasa Latin menjadi politia
(negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris policy, yang berarti
menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan (Dunn, 2000:
51-52).
Sejalan dengan itu, Lasswell dan Kaplan (dalam Dunn,
2000: 71) memberikan definisi kebijakan sebagai sesuatu program pencapaian
tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah (a projected program
of goal, value and practices). Kemudian Schermerhorn, Hunt & Osborn
(2005: 390) mendefinisikan kebijakan sebagai pedoman bertindak yang menguraikan
sasaran penting dan secara luas menunjukkan bagaimana aktivitas dapat
dikerjakan. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Ansoff (dalam Rollinson,
Edwards & Broadfield, 1998: 432) bahwa kebijakan dapat digambarkan sebagai
pedoman atau prinsip yang mengarahkan pembuatan keputusan masa depan jika dan
ketika unsur-unsur tertentu muncul.
Bagi Mintzberg (dalam Scott & Davis, 2007: 319),
kebijakan merujuk pada: (a) rencana – cara bertindak yang sengaja ditetapkan;
(b) permainan – manuver yang dimaksudkan untuk menyesatkan orang lain; (c) pola
– kumpulan tindakan yang konsisten, apakah bertujuan atau tidak; (d) posisi –
lokasi atau wadah yang menunjuk bidang tindakan; dan (e) perspektif – cara
memandang dunia.
Dari berbagai pandangan, pengertian, dan definisi
tersebut terlihat bahwa kebijakan merupakan pedoman atau prinsip-prinsip untuk
bertindak bagi warga masyarakat (publik), yang dapat meliputi perencanaan,
pengambilan keputusan, penentuan sasaran, dan bagaimana cara mencapainya.
Kebijakan tidak akan bermakna apa-apa tanpa
diimplementasikan (dilaksanakan). Kebijakan yang tidak diimplementasikan tidak
akan memberikan kontribusi apa pun terhadap kehidupan. Jadi, implementasi
kebijakan merupakan hal penting, yang bahkan lebih penting dibandingkan
formulasi kebijakan.
Menurut Daft (2003: 285), implementasi merupakan langkah
dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan penggunaan kemampuan
manajerial, administratif dan persuasif untuk menerjemahkan alternatif yang
dipilih ke dalam tindakan. Sedangkan Mazmanian dan Sabatier (dalam Shafritz,
Russell & Borick, 2007: 65) melukiskan implementasi kebijakan sebagai
“memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku
atau dirumuskan, merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni
kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman kebijakan negara,
yang mencakup baik usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
akibat/dampak nyata pada masyarakat.” Di sini tampak jelas bahwa implementasi
kebijakan mencakup segenap kejadian dan kegiatan pasca pengesahan kebijakan,
baik yang terkait dengan kegiatan administrasi hingga dampaknya.
Supaya kebijakan dapat diimplementasikan, Jones (1994:
296-324) mengemukakan tiga kegiatan untuk mengoperasikan program bagi
implementasi kebijakan, yaitu: organisasi), interpretasi), dan
aplikasi”. Organisasi merefleksikan bentuk pelaksanaan
pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit kerja serta metode
untuk menjadikan suatu kebijakan dapat dilaksanakan dan kemudian memiliki
dampak tertentu. Interpretasi terkait dengan usaha menafsirkan agar
program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima
serta dapat dilaksanakan. Sedangkan aplikasi merupakan ketentuan
rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan
atau perlengkapan program. Dengan demikian, implementasi kebijakan sekurang-kurangnya membutuhkan
organiasi, interpretasi, dan aplikasi.
Kepemimpinan
Taylor (dalam Drafke, 2009: 460) menjelaskan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi aktivitas orang lain melalui
proses komunikasi ke arah pencapain tujuan. Definisi yang hampir sama
dikemukakan oleh Kinicki dan Kreitner (2008: 479) bahwa kepemimpinan merupakan
kemampuan untuk mempengaruhi orang ke arah pencapaian tujuan organisasi.
Robbins & Judge (2009: 358) juga memandang kepemimpinan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi sebuah kelompok ke arah pencapaian visi atau seperangkat
tujuan. Kemudian Greenberg & Baron (2003: 85) menyatakan bahwa kepemimpinan
merupakan proses yang digunakan oleh seseorang untuk mempengaruhi anggota
kelompok ke arah pencapaian tujuan kelompok organisasi.
Definisi-definisi ini pada umumnya memandang kepemimpinan
sebagai aktivitas yang berkelanjutan, diarahkan untuk menimbulkan dampak pada
perilaku orang lain, yang pada akhirnya difokuskan pada upaya untuk mewujudkan
tujuan-tujuan organisasi. Definisi tersebut juga mencerminkan bahwa
kepemimpinan menyangkut proses pengaruh sosial yang pengaruhnya disengaja oleh
seseorang terhadap orang lain untuk mengatur aktivitas-aktivitas serta hubungan
di dalam kelompok atau organisasi.
Supaya
efektif dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, seorang pemimpin dituntut
memiliki kompetensi tertentu. Menurut Joseph (2007: 25-28), ada sepuluh
kompetensi yang perlu dimiliki seorang pemimpin, ytitu:
Pertama, adalah arah diri (self direction).
Arah diri merupakan kemampuan menyusun tujuan untuk dirinya yang mengarahkan
pada tujuan dengan dedikasi pemikiran tunggal. Hal ini merupakan kunci dorongan personal dalam
memimpin. Beberapa orang menyusun tujuannya tetapi tidak diikuti dengan
dorongan personal. Sementara yang lainnya memulai dengan bekerja atas
tujuan-tujuannya, tetapi mungkin tidak sampai akhir.
Kedua, fleksibilitas (flexibility), yaitu
kemampuan untuk mengubah dirinya sesuai dengan situasi. Esensi dari
fleksibilitas mental adalah kemampuan untuk menangani situasi yang berbeda
dalam cara yang berlainan, khususnya untuk menanggapi hal-hal yang baru,
komplek dan situasi yang problematik.
Ketiga, tim kerja (team work), yang
merupakan kemampuan untuk bekerja bersama terhadap visi bersama. Kemampuan
tersebut untuk mengarahkan individu melaksanakan tujuan organisasi. Kemampuan
kerja tim antara lain mencakup: bekerja bersama dalam suatu kelompok untuk
mencapai tujuan bersama, mencapai hasil yang ingin dicapai, merayakan
kesuksesan, memiliki pimpinan tim yang jelas, memiliki tujuan yang jelas,
mendukung satu sama lain dalam mencapai tujuan, masing-masing anggota memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi keputusan, dan masing-masing anggota memiliki
tanggung jawab personal atas kinerja dan kualitasnya.
Keempat, strategi (strategy). Strategi adalah
kejadian suatu tindakan yang diadopsi sesudah disaring secara ekstensif melalui
data-data yang tersedia dan sesudah dievaluasi dari alternatif solusi yang
bervariasi. Strategi juga merupakan kemampuan untuk memahami dan
menginterpretasikan informasi untuk tindakan-tindakan tertentu yang akan
diimplementasikan.
Kelima, pengambilan keputusan (decision making).
Pengambilan keputusan merupakan studi yang mengidentifikasi dan memilih
alternatif-alternatif yang didasarkan pada nilai dan preferensi dari pembuat
keputusan. Membuat keputusan berdampak bahwa ada alternatif-alternatif pilihan
untuk dipertimbangkan dan dalam kasus ini tidak hanya mengidentifikasi banyak
alternatif yang mungkin, tetapi juga memilih salah satu yang terbaik dan cocok
dengan tujuan, kehendak, gaya hidup, nilai dan sebagainya.
Keenam, mengelola perubahan (managing change).
Megelola perubahan merupakan kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan
skenario tanpa kehilangan keefektivan dan efisiensi. Mengelola perubahan
mencakup mengelola perubahan tugas, area praktik profesional dan tubuh
pengetahuan.
Ketujuh, delegasi (delegation). Delegasi
adalah kesediaan untuk menugaskan tanggung jawab kepada yang lain. Delegasi
merupakan fungsi manajerial yang penting untuk mengurangi beban tugas pimpinan.
Delegasi membutuhkan kepercayaan yang cukup terhadap orang yang diberikan
delegasi tugas.
Kedelapan, komunikasi (communication).
Komunikasi adalah proses yang mana informasi melewati atau dibawa dalam
berbagai bentuk. Komunikasi bisa dalam bentuk organisasi atau tim dalam sebuah
organisasi. Komunikasi yang efektif tergantung pada tiga faktor, yaitu
kepercayaan, emosi dan alasan.
Kesembilan, negosiasi (negotiation). Negosiasi
adalah proses dimana dua pihak memecahkan perselisihan, setuju atas terjadinya
suatu tindakan atau mencoba untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.
Kepentingan yang saling diuntungkan merupakan bagian penting dalam negosiasi
dan tidak boleh hanya satu pihak saja yang diuntungkan.
Kesepuluh, kekuasaan dan pengaruh (power and
influence). Kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh dalam
organisasi atau individu di luar wewenang yang diturunkan dari jabatan.
Komitmen Organisasi
Setiap organisasi, terutama organisasi nonprofit seperti
organisasi kependidikan, memerlukan komitmen dari para anggotanya. Komitmen
dalam artian ini, menurut Shaw, Delery & Abdulla (2003: 2), adalah hasil dari
investasi atau kontribusi terhadap organisasi, atau suatu pendekatan psikologis
yang menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi
intensitas tinggi terhadap organisasi; atau dalam pandangan Benkhoff (1997: 3)
sebagai derajat kepedulian karyawan dan kontribusinya terhadap keberhasilan
organisasi.
Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh
Newstrom (2007: 207) bahwa komitmen organisasi adalah suatu tingkat atau
derajat identifikasi diri pegawai dengan organisasi dan keinginan-keinginannya
untuk meneruskan partisipasi aktifnya dalam organisasi. Kemudian Bishop, Scott
& Burroughs (2000: 2) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan
relatif dari identifikasi individu bersama dan keterlibatannya dengan organisasi.
Sedangkan Luthans (2010: 147) mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan
suatu hasrat yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi; suatu keinginan
untuk menunjukkan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi; dan keyakinan yang
kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi.
Dari pengertian, batasan dan definisi tersebut terlihat
bahwa pada intinya komitmen organisasi terkait dengan keterlibatan total dan
partisipasi aktif seseorang terhadap organisasi, baik secara kognitif maupun
afektif.
Sejalan dengan hal itu, Meyer dan Allen (dalam Luthans,
2010: 148) mengidentifikasi tiga dimensi komitmen organisasi. Pertama, komitmen
afektif, yaitu kelekatan emosional terhadap organisasi, mengidentifikasikan
diri dan terlibat aktif dalam organisasi. Kedua, komitmen rasional, yaitu
berkaitan dengan persepsi pegawai atas kerugian yang akan diperolehnya jika
meninggalkan organisasi. Ketiga, komitmen normative, yakni berkaitan dengan perasaan
pegawai terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam organisasi.
Sementara itu Moore (dalam Ivancevich, Konopaske &
Matteson, 2008: 184) melihat komitmen organisasi dalam tataran lebih sempit
yang melibatkan tiga sikap, yakni: (1) suatu rasa identifikasi dengan
tujuan-tujuan organisasi, (2) suatu perasaan keterlibatan dalam
kewajiban-kewajiban organisasi, dan (3) suatu perasaan loyalitas
terhadap organisasi.
Analisis: Urgensi
Kompetensi dan Komitmen Kepemimpinan
Keberhasilan implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa diantaranya adalah rumusan
kebijakan, pelaksana kebijakan, fasilitas pendukung, anggaran, komunikasi,
kompetensi dan komitmen pemimpin. Dari semua faktor tersebut, kompetensi dan
komitmen pemimpin mempunyai peran vital. Hal ini dapat terjadi karena pemimpin
merupakan pemegang otoritas tertinggi dan karenanya memiliki pengaruh yang luar
biasa. Sebagai pemegang otoritas tertinggi, pemimpin bukan sekedar dapat
mempengaruhi pemanfaatan semua sumber daya yang tersedia untuk implementasi
kebijakan, tapi jauh melampaui itu juga mempunyai power yang dapat
digunakan untuk memaksa sumber daya yang lain. Ini berarti bahwa kedudukan atau
posisi pemimpin dalam konstelasi implementasi kebijakan sangat vital dan
strategis.
Kedudukan yang vital dan strategis itu tentu saja membawa
konsekuensi. Ketika suatu kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik, maka
itu merupakan keberhasilan pemimpin. Tapi sebaliknya, tatkala suatu kebijakan
tidak dapat diimplementasikan dengan baik, maka itu juga merupakan bentuk
kegagalan pemimpin. Jadi, peran pemimpin sangat menentukan implementasi
kebijakan.
Ini berarti bahwa ketika di lembaga-lembaga pendidikan kita banyak kebijakan
yang tidak terimplementasikan dengan baik, itu merupakan bentuk kegagalan
pemimpin, setidaknya pemimpin yang bertanggung jawab langsung terhadap
implementasi suatu kebijakan. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh banyak
faktor, dua diantaranya adalah kompetensi dan komitmen kepemimpinan.
Urgensi Kompetensi
Mengenai kompetensi, tidak dapat disangsikan lagi bahwa banyak pemimpin di
lembaga-lembaga pendidikan yang kurang atau belum memiliki kompetensi yang
memadai. Mereka ditunjuk atau mempromosikan diri sebagai pemimpin tetapi minim
kompetensi yang diperluan untuk memfungsikan kepemimpinannya. Akibatnya, unit
kerja yang dipimpinnya stagnan, tidak berkembang, bahkan mengalami kemunduran.
Sebelum menjadi pemimpin, seharusnya mereka belajar
tentang kompetensi kepemimpinan. Joseph (2007: 25-28) mengidentifikasi sepuluh
kompetensi yang harus dimiliki pemimpin agar kepemimpinannya efektif. Pertama,
arah diri. Seorang pemimpin harus memiliki orientasi tujuan yang jelas, baik
bagi dirinya maupun unit kerja yang dipimpin. Kedua, fleksibilitas. Seorang
pemimpin harus mampu beradaptasi dengan situasi aktual, termasuk hal-hal baru,
kompleks dan problematik. Ketiga, tim kerja. Seorang pemimpin harus mampu
bekerjasama untuk memperjuangkan visi, misi dan tujuan bersama. Keempat,
strategi. Seorang pemimpin harus mempunyai strategi yang merefleksikan
kemampuannya dalam memahami dan menginterpretasikan berbagai persoalan untuk
dipecahkan. Kelima, pengambilan keputusan. Seorang pemimpin harus mampu
mengambil keputusan dengan cepat dan tepat berdasarkan informasi/data yang
akurat. Keenam, mengelola perubahan. Seorang pemimpin harus mampu mengelola
perubahan dengan skenario yang jelas agar perubahan berlanngsung dengan efektif
dan efisiensi. Ketujuh, delegasi. Seorang pemimpin harus rela mendelegasikan
sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang dipandang mampu. Kedelapan,
komunikasi. Seorang pemimpin harus dapat berkomunikasi dengan baik secara
interpersonal atau dalam kelompok (tim). Kesembilan, negosiasi. Seorang
pemimpin juga harus mempunyai kemampuan negosiasi untuk memecahkan berbagai
persoalan akibat perselisihan atau benturan kepentingan. Kesepuluh, kekuasaan
dan pengaruh. Terakhir, seorang pemimpin juga harus cakap menggunakan
pengaruhnya untuk kepentingan dirinya atas nama organisasi. Tanpa kompetensi-kompetensi
ini kecil kemungkinan seorang pemimpin dapat mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan organisasi dengan baik.
Urgensi Komitmen
Kepemimpinan
Kompetensi kepemimpinan
belum tentu dapat menjamin keberhasilan seorang pemimpin dalam mengimplementasikan
kebijakan. Kompetensi tidak akan memberikan atau menyumbangkan apapun jika
tidak dilakukan atau diaplikasikan. Jadi kompetensi membutuhkan motor penggerak
agar bekerja sehingga dapat menyumbangkan sesuatu. Motor penggeraknya adalah komitmen.
Tepatnya adalah komitmen seorang pemimpin terhadap organisasi, atau yang lazim
disebut komitmen organisasi. Sebagaimana dikatakan Luthans (2010: 147)
bahwa komitmen organisasi merupakan suatu hasrat yang kuat untuk tetap
menjadi anggota organisasi; suatu keinginan untuk menunjukkan usaha tingkat
tinggi atas nama organisasi; dan keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai
dan tujuan-tujuan organisasi.
Jadi, selain memiliki kompetensi, seorang pemimpin juga harus memiliki komitmen
pada organisasi yang dipimpin. Komitmen yang di dalamnya terdapat tiga gatra:
hasrat kuat tetap menjadi anggota organisasi, keinginan menunjukkan usaha
tingkat tinggi atas nama organisasi, dan keyakinan kuat dalam menerima
nilai-nilai serta memperjuangkan tujuan organisasi, akan mendorong bekerjanya
kompetensi-kompetensi yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk didekasikan
kepada organisasi. Dalam perspektif ini, maka pemimpim yang memiliki komitmen
tinggi akan cenderung mendedikasikan semua kompetensinya untuk
mengimplementasikan semua kebijakan organisasi, baik yang datang dari internal
organisasi maupun dari luar organisasi.
Jadi kesimpulannya: implementasi kebijakan membutuhkan kompetensi dan komitmen
dari seorang pemimpin. Hal ini tidak terkecuali dan bahkan terutama untuk
organisasi-organisasi nonprofit seperti organisasi pendidikan, baik lembaga
pendidikan formal seperti perguruan tinggi maupun lembaga pendidikan nonformal
seperti kursus.
Rekomendasi
Karena kompetensi
dan komitmen kepemimpinan diperlukan bagi peningkatan keberhasilan implememnasi
kebijakan, maka eksistensinya perlu diperbiki dan dibangun. Usaha ke arah itu
antara lain dapat ditempuh melalui pelatihan, seminar atau workshop yang
diperkaya dengan simulasi atau melalui usaha individual secara otodidak dengan
menyimak berbagai literatur yang relevan. Hal ini akan terwujud dengan dua
dukungan. Pertama, organisasi memfasilitasi pelatihan, seminar atau workshop
yang diperlukan, baik dengan cara in house maupun dengan cara mengirim
pimpinan ke berbagai pelatihan, seminar atau workshop. Kedua, para
pemimpin memiliki kesadaran tinggi untuk membangun kompetensi dan komitmen
kepemimpinannya. Dengan kesadaran yang tinggi, para pemimpin akan berinisitif
dan berkorban untuk membangun kompetensi dan komitmen kepemimpinnnya, dengan
cara membeli buku, mengikuti pelatihan, seminar atau workshop dengan
biaya sendiri.
Beberapa materi pelatihan, seminar atau workshop yang relevan untuk
membangun kompetensi dan komitmen kepemimpinan antara lain: kecerdasan
emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan adversitas (AQ),
efektivitas kepemimpinan, dan efektivitas komunikasi.
Referensi
Benkhoff, “Ignoring Commitment Is
Costly: New Approaches Establish the Missink Link Between Organizational
Commitment and Performance”, Human Relations, 50, (6), 1997.
Bishop,
Scott & Burroughs, “Support Commitment and Employee Outcomes in a Team
Environment”, Journal of Management, 26, (6), 2000.
Daft,
Richard L. Management, USA: South-Western, 2003.
Drafke,
Michael, The Human Side of Organizations, New Jersey: Pearson Prentice
Hall, 2009.
Dunn,
N. William, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan Samodra
Wibawa dkk, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.
Greenberg,
Jerald & Robert A. Baron. Behavior in Organization, New Jersey:
Prentice Hall, 2003.
Ivancevich,
John M., Robert Konopaske & Michael T. Matteson, Organizational Bahavior
and Management, Boston: McGraw-Hill, 2008.
Jones,
Charles O., An Introduction To The Study Of Public Policy, California:
Brooks/Cole Publishing Company Monterey, 1994.
Joseph,
P. T., EQ and Leadership, New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company
Limited, 2007.
Kinicki,
Angelo & Robert Kreitner, Organizational Behavior: Key Concepts, Skills
and Best Practices, New York: McGraw-Hill, 2008.
Luthans,
Fred, Orgnazational Behavior, 12tth edition, Boston:
McGraw-Hill, 2010.
Newstrom,
John W., Organization Behavior: Human Behavior at Work, 12tth
edition, Boston: McGraw Hill, 2007.
Robbins,
Stephen P. & Timothy A. Judge, Organizational Behavior, New Jersey:
Pearson Education, 2009.
Rollinson,
Derek, David Edwards, and Aysen Broadfield, Organisational Behavior and
Analysis, Essex: Pearson Edu. Limited, 1998.
Schermerhorn,
John R., Jr., James G. Hunt and Richard N. Osborn, Organizational Behavior, Danvers:
John Wiley & Sons., Inc., 2005.
Shafritz,
Jay M., E. W. Russell and Christopher P. Borick, Introducing Public
Administration, New York: Pearson Education, Inc., 2007.
Shaw,
Delery & Abdulla, “Organizational Commitment and Performance Among Guest
Workers and Citizens of An Arab Country”, Journal of Business Research,
56, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar