Jumat, 11 September 2015

URGENSI KOMPETENSI DAN KOMITMEN KEPEMIMPINAN BAGI KEBERHASILAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Fenomena Laten
Setiap organisasi, tidak terkecuali organisasi pendidikan, senantiasa bergulat dengan kebijakan-kebijakan. Untuk organisasi pendidikan tinggi (PT),  dalam lingkup eksternal, senantiasa terikat dengan kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi, baik dalam bentuk Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permendiknas) maupun sekedar Surat Edaran Dirjen Dikti. Dalam lingkup internal, khususnya PT Swasta (PTS), selalu terikat dengan kebijakan-kebijakan Yayasan sebagai Badan Pengelola PTS. Intinya setiap denyut nadi kehidupan organisasi senantiasa terkait dengan kebijakan, dan karena itu setiap anggota organsinasi sudah sangat terbiasa dengan kebijakan-kebijakan. Namun ironisnya tidak banyak kebijakan yang dapat diimplementasikan secara benar, dalam arti sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kebijakan. Sebagai contoh adalah kebijakan Tridarma Perguruan Tinggi. Dari tiga darma PT, yakni: pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat, praktis hanya darma pengajaran saja yang dapat diimplementasikan oleh PT. Itu pun  hanya dalam artian formal, yaitu menyangkut pelaksanaan pengajaran di kelas secara kuantitas. Sedangkan dalam artian material, yaitu terkait dengan penguasaan materi kuliah secara kualitas,  belum terjamin. Alih-alih, darma yang kedua (penelitian) dan ketiga (pengabdian pada masyarakat) amat sangat sedikit sekali tersentuh. Sebagai bukti, lihatlah aktivitas penelitian di PT yang amat langka. Yang ramai hanya kegiatan penelitian mahasiswa untuk kepentingan penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi). Sedangkan kegiatan penelitian oleh dosen, sangat sepi. Demikian pula pengabdian pada masyarakat, juga senyap. Kegiatan pengabdian pada masyarakat muncul kalau sedang ada kejadian-kejadian insidental seperti bencana alam. Sementara itu, kegiatan-kegiatan  pengabdian pada masyarakat yang terencana, terstruktur, terpola dan terorganisasi dengan baik dalam rangka pemberdayaan masyarakat nyaris tidak mengemuka.
Ini belum termasuk berbagai kebijakan administratif, akademik, dan pelayanan pendidikan kepada mahasiswa yang juga senantiasa kedodoran.  Pelayanan prima seperti tidak pernah singgah di kampus. Dalam berbagai urusan, mahasiswa banyak sekali yang mengeluh. Ini merupakan pertanda bahwa implementasi kebijakan di PT sangat lemah dan bahkan cenderung laten.
Kecenderungan yang sama juga terjadi di lembaga-lembaga kursus. Nyaris tidak ada lembaga kursus yang mampu memberikan pelayanan secara prima kepada peserta didik. Yang terdengar hampir setiap hari adalah keluhan demi keluhan. Dari soal pelayanan akademis sampai pelayanan administratif, bahkan juga di luar itu seperti kebersihan toilet, keamanan, parkir, dan lain-lain. Hal ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa implementasi kebijakan di bergagai lembaga pendidikan memang betul-betul lemah dan laten.

Pertanyaan Kritis
            Fenomena laten tersebut mengundang satu pertanyaan kritis: Mengapa implementasi kebijakan di lembaga-lembaga pendidikan tidak berjalan dengan baik?

Kajian Teori
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu disajikan beberapa teori yang relevan, khususnya teori kebijakan, kepemimpinan dan komitmen organisasi.
           
Kebijakan
Dunn menjelaskan bahwa secara etimologis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa Yunani dan Sansekerta polis (negara kota) dan pur (kota)  yang dikembangkan dalam bahasa Latin menjadi politia (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris policy, yang berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan (Dunn, 2000: 51-52).
Sejalan dengan itu, Lasswell dan Kaplan (dalam Dunn, 2000: 71) memberikan definisi kebijakan sebagai sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah (a projected program of goal, value and practices). Kemudian Schermerhorn, Hunt & Osborn (2005: 390) mendefinisikan kebijakan sebagai pedoman bertindak yang menguraikan sasaran penting dan secara luas menunjukkan bagaimana aktivitas dapat dikerjakan. Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Ansoff (dalam Rollinson, Edwards & Broadfield, 1998: 432) bahwa kebijakan dapat digambarkan sebagai pedoman atau prinsip yang mengarahkan pembuatan keputusan masa depan jika dan ketika unsur-unsur tertentu muncul.
Bagi Mintzberg (dalam Scott & Davis, 2007: 319), kebijakan merujuk pada: (a) rencana – cara bertindak yang sengaja ditetapkan; (b) permainan – manuver yang dimaksudkan untuk menyesatkan orang lain; (c) pola – kumpulan tindakan yang konsisten, apakah bertujuan atau tidak; (d) posisi – lokasi atau wadah yang menunjuk bidang tindakan; dan (e) perspektif – cara memandang dunia.
Dari berbagai pandangan, pengertian, dan definisi tersebut terlihat bahwa kebijakan merupakan pedoman atau prinsip-prinsip untuk bertindak bagi warga masyarakat (publik), yang dapat meliputi perencanaan, pengambilan keputusan, penentuan sasaran, dan bagaimana cara mencapainya.
Kebijakan tidak akan bermakna apa-apa tanpa diimplementasikan (dilaksanakan). Kebijakan yang tidak diimplementasikan tidak akan memberikan kontribusi apa pun terhadap kehidupan. Jadi, implementasi kebijakan merupakan hal penting, yang bahkan lebih penting dibandingkan formulasi kebijakan.
Menurut Daft (2003: 285), implementasi merupakan langkah dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan penggunaan kemampuan manajerial, administratif dan persuasif untuk menerjemahkan alternatif yang dipilih ke dalam tindakan. Sedangkan Mazmanian dan Sabatier (dalam Shafritz, Russell & Borick, 2007: 65) melukiskan implementasi kebijakan sebagai “memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan, merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman kebijakan negara, yang mencakup baik usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat.” Di sini tampak jelas bahwa implementasi kebijakan mencakup segenap kejadian dan kegiatan pasca pengesahan kebijakan, baik yang terkait dengan kegiatan administrasi hingga dampaknya.
Supaya kebijakan dapat diimplementasikan, Jones (1994: 296-324) mengemukakan tiga kegiatan untuk mengoperasikan program bagi implementasi kebijakan, yaitu: organisasi), interpretasi), dan aplikasi”. Organisasi merefleksikan bentuk pelaksanaan  pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit kerja serta metode untuk menjadikan suatu kebijakan dapat dilaksanakan dan kemudian memiliki dampak tertentu. Interpretasi terkait dengan usaha menafsirkan agar program  menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dapat dilaksanakan. Sedangkan aplikasi merupakan ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program. Dengan demikian, implementasi kebijakan sekurang-kurangnya membutuhkan organiasi, interpretasi, dan aplikasi.

Kepemimpinan
Taylor (dalam Drafke, 2009: 460) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi aktivitas orang lain melalui proses komunikasi ke arah pencapain tujuan. Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Kinicki dan Kreitner (2008: 479) bahwa kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang ke arah pencapaian tujuan organisasi. Robbins & Judge (2009: 358) juga memandang kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi sebuah kelompok ke arah pencapaian visi atau seperangkat tujuan. Kemudian Greenberg & Baron (2003: 85) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan proses yang digunakan oleh seseorang untuk mempengaruhi anggota kelompok ke arah pencapaian tujuan kelompok organisasi.
Definisi-definisi ini pada umumnya memandang kepemimpinan sebagai aktivitas yang berkelanjutan, diarahkan untuk menimbulkan dampak pada perilaku orang lain, yang pada akhirnya difokuskan pada upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi. Definisi tersebut juga mencerminkan bahwa kepemimpinan menyangkut proses pengaruh sosial yang pengaruhnya disengaja oleh seseorang terhadap orang lain untuk mengatur aktivitas-aktivitas serta hubungan di dalam kelompok atau organisasi.
Supaya efektif dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, seorang pemimpin dituntut memiliki kompetensi tertentu. Menurut Joseph (2007: 25-28), ada sepuluh kompetensi yang perlu dimiliki seorang pemimpin, ytitu:
Pertama, adalah arah diri (self direction). Arah diri merupakan kemampuan menyusun tujuan untuk dirinya yang mengarahkan pada tujuan dengan dedikasi pemikiran tunggal. Hal ini merupakan kunci dorongan personal dalam memimpin. Beberapa orang menyusun tujuannya tetapi tidak diikuti dengan dorongan personal. Sementara yang lainnya memulai dengan bekerja atas tujuan-tujuannya, tetapi mungkin tidak sampai akhir.
Kedua, fleksibilitas (flexibility), yaitu kemampuan untuk mengubah dirinya sesuai dengan situasi. Esensi dari fleksibilitas mental adalah kemampuan untuk menangani situasi yang berbeda dalam cara yang berlainan, khususnya untuk menanggapi hal-hal yang baru, komplek dan situasi yang problematik.
Ketiga, tim kerja (team work), yang merupakan kemampuan untuk bekerja bersama terhadap visi bersama. Kemampuan tersebut untuk mengarahkan individu melaksanakan tujuan organisasi. Kemampuan kerja tim antara lain mencakup: bekerja bersama dalam suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama, mencapai hasil yang ingin dicapai, merayakan kesuksesan, memiliki pimpinan tim yang jelas, memiliki tujuan yang jelas, mendukung satu sama lain dalam mencapai tujuan, masing-masing anggota memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keputusan, dan masing-masing anggota memiliki tanggung jawab personal atas kinerja dan kualitasnya.
Keempat, strategi (strategy). Strategi adalah kejadian suatu tindakan yang diadopsi sesudah disaring secara ekstensif melalui data-data yang tersedia dan sesudah dievaluasi dari alternatif solusi yang bervariasi. Strategi juga merupakan kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan informasi untuk tindakan-tindakan tertentu yang akan diimplementasikan.
Kelima, pengambilan keputusan (decision making). Pengambilan keputusan merupakan studi yang mengidentifikasi dan memilih alternatif-alternatif yang didasarkan pada nilai dan preferensi dari pembuat keputusan. Membuat keputusan berdampak bahwa ada alternatif-alternatif pilihan untuk dipertimbangkan dan dalam kasus ini tidak hanya mengidentifikasi banyak alternatif yang mungkin, tetapi juga memilih salah satu yang terbaik dan cocok dengan tujuan, kehendak, gaya hidup, nilai dan sebagainya.
Keenam, mengelola perubahan (managing change). Megelola perubahan merupakan kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan skenario tanpa kehilangan keefektivan dan efisiensi. Mengelola perubahan mencakup mengelola perubahan tugas, area praktik profesional dan tubuh pengetahuan.
Ketujuh, delegasi (delegation). Delegasi adalah kesediaan untuk menugaskan tanggung jawab kepada yang lain. Delegasi merupakan fungsi manajerial yang penting untuk mengurangi beban tugas pimpinan. Delegasi membutuhkan kepercayaan yang cukup terhadap orang yang diberikan delegasi tugas.
Kedelapan, komunikasi (communication). Komunikasi adalah proses yang mana informasi melewati atau dibawa dalam berbagai bentuk. Komunikasi bisa dalam bentuk organisasi atau tim dalam sebuah organisasi. Komunikasi yang efektif tergantung pada tiga faktor, yaitu kepercayaan, emosi dan alasan.
Kesembilan, negosiasi (negotiation). Negosiasi adalah proses dimana dua pihak memecahkan perselisihan, setuju atas terjadinya suatu tindakan atau mencoba untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan. Kepentingan yang saling diuntungkan merupakan bagian penting dalam negosiasi dan tidak boleh hanya satu pihak saja yang diuntungkan.
Kesepuluh, kekuasaan dan pengaruh (power and influence). Kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh dalam organisasi atau individu di luar wewenang yang diturunkan dari jabatan.


Komitmen Organisasi
Setiap organisasi, terutama organisasi nonprofit seperti organisasi kependidikan, memerlukan komitmen dari para anggotanya. Komitmen dalam artian ini, menurut Shaw, Delery & Abdulla (2003: 2), adalah hasil dari investasi atau kontribusi terhadap organisasi, atau suatu pendekatan psikologis yang menggambarkan suatu hal yang positif, keterlibatan yang tinggi, orientasi intensitas tinggi terhadap organisasi; atau dalam pandangan Benkhoff (1997: 3) sebagai derajat kepedulian karyawan dan kontribusinya terhadap keberhasilan organisasi.
Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Newstrom (2007: 207) bahwa komitmen organisasi adalah suatu tingkat atau derajat identifikasi diri pegawai dengan organisasi dan keinginan-keinginannya untuk meneruskan partisipasi aktifnya dalam organisasi. Kemudian Bishop, Scott & Burroughs (2000: 2) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu bersama dan keterlibatannya dengan organisasi. Sedangkan Luthans (2010: 147) mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu hasrat yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi; suatu keinginan untuk menunjukkan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi; dan keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi.
Dari pengertian, batasan dan definisi tersebut terlihat bahwa pada intinya komitmen organisasi terkait dengan keterlibatan total dan partisipasi aktif seseorang terhadap organisasi, baik secara kognitif maupun afektif.
Sejalan dengan hal itu, Meyer dan Allen (dalam Luthans, 2010: 148) mengidentifikasi tiga dimensi komitmen organisasi. Pertama, komitmen afektif, yaitu kelekatan emosional terhadap organisasi, mengidentifikasikan diri dan terlibat aktif dalam organisasi. Kedua, komitmen rasional, yaitu berkaitan dengan persepsi pegawai atas kerugian yang akan diperolehnya jika meninggalkan organisasi.  Ketiga, komitmen normative, yakni berkaitan dengan perasaan pegawai terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam organisasi.
Sementara itu Moore (dalam Ivancevich, Konopaske & Matteson, 2008: 184) melihat komitmen organisasi dalam tataran lebih sempit yang melibatkan tiga sikap, yakni: (1) suatu rasa identifikasi dengan tujuan-tujuan organisasi(2) suatu perasaan keterlibatan dalam kewajiban-kewajiban organisasi, dan (3) suatu perasaan loyalitas terhadap organisasi.

Analisis: Urgensi Kompetensi dan Komitmen Kepemimpinan
            Keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor, beberapa diantaranya adalah rumusan kebijakan, pelaksana kebijakan, fasilitas pendukung, anggaran, komunikasi, kompetensi dan komitmen pemimpin. Dari semua faktor tersebut, kompetensi dan komitmen pemimpin mempunyai peran vital. Hal ini dapat terjadi karena pemimpin merupakan pemegang otoritas tertinggi dan karenanya memiliki pengaruh yang luar biasa. Sebagai pemegang otoritas tertinggi, pemimpin bukan sekedar dapat mempengaruhi pemanfaatan semua sumber daya yang tersedia untuk implementasi kebijakan, tapi jauh melampaui itu juga mempunyai power yang dapat digunakan untuk memaksa sumber daya yang lain. Ini berarti bahwa kedudukan atau posisi pemimpin dalam konstelasi implementasi kebijakan sangat vital dan strategis.
Kedudukan yang vital dan strategis itu tentu saja membawa konsekuensi. Ketika suatu kebijakan dapat diimplementasikan dengan baik, maka itu merupakan keberhasilan pemimpin. Tapi sebaliknya, tatkala suatu kebijakan tidak dapat diimplementasikan dengan baik, maka itu juga merupakan bentuk kegagalan pemimpin. Jadi, peran pemimpin sangat menentukan implementasi kebijakan.
            Ini berarti bahwa ketika di lembaga-lembaga pendidikan kita banyak kebijakan yang tidak terimplementasikan dengan baik, itu merupakan bentuk kegagalan pemimpin, setidaknya pemimpin yang bertanggung jawab langsung terhadap implementasi suatu kebijakan. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, dua diantaranya adalah kompetensi dan komitmen kepemimpinan. 

Urgensi Kompetensi
   Mengenai kompetensi, tidak dapat disangsikan lagi bahwa banyak pemimpin di lembaga-lembaga pendidikan yang kurang atau belum memiliki kompetensi yang memadai. Mereka ditunjuk atau mempromosikan diri sebagai pemimpin tetapi minim kompetensi yang diperluan untuk memfungsikan kepemimpinannya. Akibatnya, unit kerja yang dipimpinnya stagnan, tidak berkembang, bahkan mengalami kemunduran.
Sebelum menjadi pemimpin, seharusnya mereka belajar tentang kompetensi kepemimpinan. Joseph (2007: 25-28) mengidentifikasi sepuluh kompetensi yang harus dimiliki pemimpin agar kepemimpinannya efektif. Pertama, arah diri. Seorang pemimpin harus memiliki orientasi tujuan yang jelas, baik bagi dirinya maupun unit kerja yang dipimpin. Kedua, fleksibilitas. Seorang pemimpin harus mampu beradaptasi dengan situasi aktual, termasuk hal-hal baru, kompleks dan problematik. Ketiga, tim kerja. Seorang pemimpin harus mampu bekerjasama untuk memperjuangkan visi, misi dan tujuan bersama. Keempat, strategi. Seorang pemimpin harus mempunyai strategi yang merefleksikan kemampuannya dalam memahami dan menginterpretasikan berbagai persoalan untuk dipecahkan. Kelima, pengambilan keputusan. Seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat berdasarkan informasi/data yang akurat. Keenam, mengelola perubahan. Seorang pemimpin harus mampu mengelola perubahan dengan skenario yang jelas agar perubahan berlanngsung dengan efektif dan efisiensi. Ketujuh, delegasi. Seorang pemimpin harus rela mendelegasikan sebagian tanggung jawabnya kepada orang lain yang dipandang mampu. Kedelapan, komunikasi. Seorang pemimpin harus dapat berkomunikasi dengan baik secara interpersonal atau dalam kelompok (tim). Kesembilan, negosiasi. Seorang pemimpin juga harus mempunyai kemampuan negosiasi untuk memecahkan berbagai persoalan akibat perselisihan atau benturan kepentingan. Kesepuluh, kekuasaan dan pengaruh. Terakhir, seorang pemimpin juga harus cakap menggunakan pengaruhnya untuk kepentingan dirinya atas nama organisasi. Tanpa kompetensi-kompetensi  ini kecil kemungkinan seorang pemimpin dapat mengimplementasikan kebijakan-kebijakan organisasi dengan baik.  

Urgensi Komitmen Kepemimpinan
            Kompetensi kepemimpinan belum tentu dapat menjamin keberhasilan seorang pemimpin dalam mengimplementasikan kebijakan. Kompetensi tidak akan memberikan atau menyumbangkan apapun jika tidak dilakukan atau diaplikasikan. Jadi kompetensi membutuhkan motor penggerak agar bekerja sehingga dapat menyumbangkan sesuatu. Motor penggeraknya adalah komitmen. Tepatnya adalah komitmen seorang pemimpin terhadap organisasi, atau yang lazim disebut komitmen organisasi. Sebagaimana dikatakan Luthans (2010: 147) bahwa  komitmen organisasi merupakan suatu hasrat yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi; suatu keinginan untuk menunjukkan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi; dan keyakinan yang kuat dalam menerima nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi.
            Jadi, selain memiliki kompetensi, seorang pemimpin juga harus memiliki komitmen pada organisasi yang dipimpin. Komitmen yang di dalamnya terdapat tiga gatra: hasrat kuat tetap menjadi anggota organisasi, keinginan menunjukkan usaha tingkat tinggi atas nama organisasi, dan keyakinan kuat dalam menerima nilai-nilai serta memperjuangkan tujuan organisasi, akan mendorong bekerjanya kompetensi-kompetensi yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk didekasikan kepada organisasi. Dalam perspektif ini, maka pemimpim yang memiliki komitmen tinggi akan cenderung mendedikasikan semua kompetensinya untuk mengimplementasikan semua kebijakan organisasi, baik yang datang dari internal organisasi maupun dari luar organisasi.
            Jadi kesimpulannya: implementasi kebijakan membutuhkan kompetensi dan komitmen dari seorang pemimpin. Hal ini tidak terkecuali dan bahkan terutama untuk organisasi-organisasi nonprofit seperti organisasi pendidikan, baik lembaga pendidikan formal seperti perguruan tinggi maupun lembaga pendidikan nonformal seperti kursus.
           
Rekomendasi
            Karena kompetensi dan komitmen kepemimpinan diperlukan bagi peningkatan keberhasilan implememnasi kebijakan, maka eksistensinya perlu diperbiki dan dibangun. Usaha ke arah itu antara lain dapat ditempuh melalui pelatihan, seminar atau workshop yang diperkaya dengan simulasi atau melalui usaha individual secara otodidak dengan menyimak berbagai literatur yang relevan. Hal ini akan terwujud dengan dua dukungan. Pertama, organisasi memfasilitasi pelatihan, seminar atau workshop  yang diperlukan, baik dengan cara in house maupun dengan cara mengirim pimpinan ke berbagai pelatihan, seminar atau workshop. Kedua, para pemimpin memiliki kesadaran tinggi untuk membangun kompetensi dan komitmen kepemimpinannya. Dengan kesadaran yang tinggi, para pemimpin akan berinisitif dan berkorban untuk membangun kompetensi dan komitmen kepemimpinnnya, dengan cara membeli buku, mengikuti pelatihan, seminar atau workshop dengan biaya sendiri.
            Beberapa materi pelatihan, seminar atau workshop yang relevan untuk membangun kompetensi dan komitmen kepemimpinan antara lain: kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan  spiritual (SQ), kecerdasan adversitas (AQ), efektivitas kepemimpinan, dan efektivitas komunikasi.
             
Referensi

Benkhoff, “Ignoring Commitment Is Costly: New Approaches Establish the Missink Link Between Organizational Commitment and Performance”, Human Relations, 50, (6), 1997.
Bishop, Scott & Burroughs, “Support Commitment and Employee Outcomes in a Team Environment”, Journal of Management, 26, (6), 2000.
Daft, Richard L. Management, USA: South-Western, 2003.
Drafke, Michael, The Human Side of Organizations, New Jersey: Pearson Prentice Hall, 2009.
Dunn, N. William, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan Samodra Wibawa dkk, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000.
Greenberg, Jerald & Robert A. Baron. Behavior in Organization, New Jersey: Prentice Hall, 2003.
Ivancevich, John M., Robert Konopaske & Michael T. Matteson, Organizational Bahavior and Management, Boston: McGraw-Hill, 2008.
Jones, Charles O., An Introduction To The Study Of Public Policy, California: Brooks/Cole Publishing Company Monterey, 1994.
Joseph, P. T., EQ and Leadership, New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited, 2007.
Kinicki, Angelo & Robert Kreitner, Organizational Behavior: Key Concepts, Skills and Best Practices, New York: McGraw-Hill, 2008.
Luthans, Fred, Orgnazational Behavior, 12tth edition, Boston: McGraw-Hill, 2010.
Newstrom, John W., Organization Behavior: Human Behavior at Work, 12tth edition, Boston: McGraw Hill, 2007.
Robbins, Stephen P. & Timothy A. Judge, Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education, 2009.
Rollinson, Derek, David Edwards, and Aysen Broadfield, Organisational Behavior and Analysis, Essex: Pearson Edu. Limited, 1998.
Schermerhorn, John R., Jr., James G. Hunt and Richard N. Osborn, Organizational Behavior, Danvers: John Wiley & Sons., Inc., 2005.
Shafritz, Jay M., E. W. Russell and Christopher P. Borick, Introducing Public Administration, New York: Pearson Education, Inc., 2007.
Shaw, Delery & Abdulla, “Organizational Commitment and Performance Among Guest Workers and Citizens of An Arab Country”, Journal of Business Research, 56, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar