*Akmal Bashori Ibnu Musa
24 Januari
2014 pukul 11:33
"Karena
produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral yang tidak boleh diubah
meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang. Pemahaman yang
mengsyakralkan fiqih jelas keliru." (KH.Sahal Mahfud)
I
DR. KH. MA.
Sahal Mahfudz (selanjutnya disebut dengan Kyai Sahal) adalah Muhammad Ahmad
Sahal bin Mahfudz bin Abd. Salam Al-Hajaini lahir di Desa Kajen, Margoyoso Pati
pada tanggal 17 Desember 1937. Kyai Sahal adalah pemimpin Pesantren Maslakul
Huda Putra sejak tahun 1963. Pesantren di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah,
ini didirikan oleh ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910.
Sedangkan
pekerjaan yang pernah beliau lakukan, adalah guru di Pesantren Sarang, Rembang
(1958-1961), Dosen kuliah takhassus fiqh di Kajen (1966-1970), Dosen di
Fakultas Tarbiyah UNCOK, Pati (1974-1976), Dosen di Fak. Syariah IAIN Walisongo
Semarang (1982-1985), Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara
(1989), Kolumnis tetap di Majalah AULA (1988-1990), Kolumnis tetap di Harian
Suara Merdeka, Semarang (1991), Rais 'Am Syuriyah PBNU (1999-2004), Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI, 2000-2005), Ketua Dewan Syari'ah Nasional (DSN,
2000-2005), dan sebagai Ketua Dewan Pengawas Syari'ah pada Asuransi Jiwa
Bersama Putra (2002).
Sosok
seperti Kyai Sahal ini kiranya layak menjadi teladan bagi semua orang. Sebagai
pengakuan atas ketokohannya, beliau telah banyak mendapatkan penghargaan,
diantaranya Tokoh Perdamaian Dunia (1984), Manggala Kencana Kelas I
(1985-1986), Bintang Maha Putra Utarna (2000) dan Tokoh Pemersatu Bangsa
(2002).
Sepak terjang
KH. Sahal tidak hanya lingkup dalam negeri saja. Pengalaman yang telah
didapatkan dari luar negeri adalah, dalam rangka studi komparatif pengembangan
masyarakat ke Filipina tahun 1983 atas sponsor USAID, studi komparatif
pengembangan masyarakat ke Korea Selatan tahun 1983 atas sponsor USAID,
mengunjungi pusat Islam di Jepang tahun 1983, studi komparatif pengembangan
masyarakat ke Srilanka tahun 1984, studi komparatif pengembangan masyarakat ke
Malaysia tahun 1984, delegasi NU berkunjung ke Arab Saudi atas sponsor Dar
al-Ifta’ Riyadh tahun 1987, dialog ke Kairo atas sponsor BKKBN Pusat tahun
1992, berkunjung ke Malaysia dan Thailand untuk kepentingan Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional (BPPN) tahun 1997.
Orang
mengenal Kiai Sahal sebagai sosok kiai yang bersahaja. Namun, di balik
kesederhanaannya, pengasuh Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati, Jawa Tengah ini
memiliki keluasan ilmu yang jarang dimiliki oleh kiai kebanyakan. Ini dapat
dilihat dari Minat baca Kyai Sahal sangat tinggi dan bacaannya cukup banyak
terbukti beliau punya koleksi 1.800-an lebih buku di ndalem-nya.
Meskipun Kyai Sahal murni orang pesantren tulen bacaannya cukup beragam,
diantaranya tentang psikologi, bahkan novel detektif walaupun bacaan yang
menjadi favoritnya adalah buku tentang agama. Beliau membaca dalam artian
konteks kejadian. Tidak heran kalau Kiai Sahal—meminjam istilah Gus Dur—lalu
‘menjadi jago’ sejak usia muda. Belum lagi genap berusia 40 tahun, dirinya
telah menunjukkan kemampuan ampuh itu dalam forum-forum fiqih. Terbukti pada
berbagai sidang Bahtsu Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa
Tengah, beliau sudah aktif di dalamnya.
Maka tidak
salah kalau kemudian dalam penelitian yang dilakukan Dr Muzammil Qomar, beliau
disejajarkan dengan nama-nama besar semisal (alm) KH Achmad Shiddiq sebagai
tokoh yang mempunyai pemikiran liberal. Bahkan kiai bernama lengkap
Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz ini di anugerahi Doctor Honoris Causa (Dr HC) dari
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta karena keteguhannya dalam fikih
Indonesia.
Kiai Sahal
adalah figur, pemimpin, ekonom, pendobrak kebekuan, kemunduran, kemiskinan, dan
latar belakang. Sosok multidisipliner dan dinamisator kalangan pesantren serta
Nahdlatul Ulama, dua lembaga yang membesarkan juga dibesarkannya. Sebagai
ulama, Kiai Sahal tidak diragukan lagi kapasitas keilmuan agamanya, khususnya
penguasaan terhadap kitab kuning atau al-turast al-islami. Kapasitas keulamaan
ini terlihat dari karya yang sangat banyak meliputi berbagai aspek keilmuan.
Dunia pesantren maupun akademisi begitu memberikan apresiasi sekaligus
kepercayaan kepadanya untuk bisa mentransformasikan keilmuan di berbagai
tempat, termasuk lewat berbagai media yang telah memberikan kesempatan kepada
beliau untuk mengisi rubrik khusus sebagai kolumnis maupun forum dialog atau
bathsul masail, yang kemudian di buku-kan menjadi Dialog bersama KH Sahal
Mahfuz.
II
Dengan
pemikiran yang tajam, ia mampu memberikan solusi secara kronologis, jelas,
transparan dan sistematis dari setiap problema umat yang disodorkan kepadanya.
Disini dibahas tuntas problematika mengenai bersuci, shalat, puasa Ramadhan,
zakat dan pemberdayaan ekonomi umat, haji, rumah tangga, antara tuntutan ibadah
dan rekayasa teknologi, akidah-akhlak, mengagungkan kitab suci, makanan, dan
etika sosial.
Bagi Kiai
Sahal, fiqh bukanlah konsep dogmatif-normatif, tapi konsep aktif-progresif.
Fiqh harus bersenyewa langsung dengan ‘af al al-mutakallifin sikap
perilaku, kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslim dalam semua aspek
kehidupan, baik ibadah maupun mu’amalah (interaksi sosial ekonomi). Kiai
Sahal tidak menerima kalau fiqh dihina sebagai ilmu yang stagnan, sumber
kejumudan dan kemunduran umat, fiqh justru ilmu yang langsung bersentuhan
dengan kehidupan riil umat, oleh karena itu fiqh harus didinamisir dan
revitalisir agar konsepnya mampu mendorong dan menggerakkan umat Islam
meningkatkan aspek ekonominya demi mencapai kebahagian dunia-akhirat.
Kontekstualisasi
dan aktualisasi fiqh adalah dua term yang selalu dikampanyekan Kiai Sahal baik
secara ‘qauli (teks) melalui acara seminar, simposium, dan sejenisnya. ‘kitabi
(tulisan) dikoran, majalah, makalah, serta fi’li (tindakan) dalam bentuk
aksi langsung di tengah masyarakat dengan program-program riil dan konkret yang
menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Dalam
pandangan kiai Sahal, jelas bahwa umat Islam sekarang dalam sebuah kebingungan
menghadapi dunia modern. Dunia modern yang selama ini dibanggakan oleh masyarakat,
ternyata malah menyisakan problem yang memprihatinkan. Dunia modern
diagung-agungkan dengan berbagai kecanggihan informasi, transportasi, dan
alat-alat teknologi lainnya ternyata gagal membentuk pribadi muslim yang luhur
dan mampu mengorbankan serta pengabdian dirinya untuk masyarakat. Semua orang
dengan bangga berkata sebagai orang modern, tetapi ternyata hatinya berpenyakit
dan begitu menyedihkan bila ditinjau dalam segi agama.
Bagi Kiai
Sahal, kebenaran sesuatu selain dari dalil-dalil naqliyah juga bisa
berasal dari dalil aqliyah. Memang al-Qur’an dan al-Hadits merupakan
sumber hidayah yang paling utama dan esensial bagi umat Islam. Namun peran akal
juga tidaklah kalah penting. Dalam beberapa ayat, peran akal sangat istimewa
bahkan orang-orang yang diberi ilmu derajatnya tinggi dihadapannya. Hasil
pemikiran sains yang berkembang sekarang dapat kita jadikan sebagai petunjuk
untuk mempertebal keimanan asalkan tidak bertentangan dengan ketetapan syariah.
Dengan demikian, sains dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran
bukan bid’ah, atau kemusyrikan dan kekufuran. Bahkan sains dan ilmu pengetahuan
diperintahkan Allah untuk dipelajari dan dikembangkan. Ini penting karena
berguna meningkatkan kualitas hidup manusia dan bahkan bisa mempertebal iman.
Kiai Sahal
Mahfudz mampu menjalankan doktrin peradaban fiqh sebagai kata kunci dalam
program pemberdayaan masyarakat di sekitar pesantrennya. Dasar-dasar fiqh dan
kiat sukses Kiai Sahal itu dapat dibaca dalam berbagai karya beliau, diantaranya
Nusansa Fiqh Sosial, Wajah Baru Fiqh Pesantren, Telaah Fiqh Sosial,
Pesantren Mencari Makna, Dialog Dengan Kiai Sahal, dan sebagainya.
Dasar-dasar pemikiran beliau tidak hanya termaktub dalam buku-buku tersebut,
tetapi telah dikaji secara serius oleh berbagai akademisi baik yang ada di S1,
S2, bahkan S3. Dalam buku-buku tersebut kita bisa menjelajah ihwal konsep
dasar fiqih social Kiai Sahal dalam memberdayakan masyarakat. Disinilah, Kiai
Sahal menjadikan term fiqh social sebagai jembatan mempertemukan teks fiqh yang
normatif dengan berbagai problem sosial yang kontemporer.
Walaupun
beliau hidup di pelosok desa kecil, semisal Kajen, Kiai Sahal justru seperti
mendapatakan tantangan riil di tengah masyarakat. Tantangan itulah
menjadikan Kiai Sahal untuk menelusuri dan mencari jembatan peradaban fiqh agar
mampu menjawab problematika kehidupan masyarakat secara progresif dan
transformatif. Bagi Kiai Sahal, fiqh social lebih menitik-beratkan pada aspek
kemaslahatan public (masholihu al-ummah). Dimana ada maslahah, disanalah
fiqh social dikumandangkan. Dalam menentukan kemaslahatan, ada lima pijakan
primer (al-dhoruriyat al-khomsah), yakni menjaga agama (hifzu al-din),
menjaga akal/rasio (hifzu al-aql), menjaga jiwa (hifzu al-nafs),
menjaga harta (hifzu al-maal), dan menjaga keturunan (hifzu al-nasl).
Bahkan oleh beliau ditambahi dengan menjaga lingkungan (hifzu al-biah).
Pergulatan
panjang Kiai Sahal dalam lapangan fiqh sosial ini ternyata membawa perubahan
besar dan dahsyat dalam lapangan pemikiran pesantren dan akademis
(perguruan tinggi), ekonomi kerakyatan, kebudayaan, kelembagaan (pesantren dan
NU), dan politik kebangsaan. Dari kalangan peasntren, pemikiran progresif fiqh
sosial Kiai Sahal mendorong santri dan Gus-Gus muda pesantren belajar secara mendalam
ilmu usul fiqh dan mengembangkan untuk merespons tantangan modernisasi sekarang
ini. Lalu muncullah pemikir-pemikir muda pesantren dan NU progresif,
transformatif, dan inovatif, dan mereka jauh lebih berani keluar mainstream
pemikiran NU, tetapi tetap dalam koridor ahlusunnah wal jamaah.
III
Konon, ada
empat misteri di dunia ini, yakni kelairan, jodoh, kematian,. Seluruh ucapan,
perilaku dan manuver sang murabbi mantan Rais am PBNU benar-benar bak misteri.
Memang tak mudah untuk membaca seorang Sahal karena keluasan ilmunya—khususnya
dalam bidang fiqh—kiai Sahal adalah murabbi Umat Islam (bisa di kata nomer
wahid). Ia dianggap sebagai tokoh yang “meracuni” pemikiran anak muda
NU—walaupun tidak se-ekstrim Gusdur yang sekaligus penyebar ideologi
sekuler-liberal—Tak heran, konon, jika berpulangnya mbah sahal dianggap sebagai
bentuk “pertolongan” Tuhan bagi umat Islam oleh seorang tokoh.
Namun, bagi
kawan-kawannya, sosok kiai sahal sebagai “ad-dakhil” alias pendobrak. Kiai
sahal memang “mendobrak” mainstream konservatif kalangan muslim Indonesia
melalui berbagai kebijakkan, tulisan dan pernyataannya. Jika Cak Nur dianggap
sebagai tokoh yang mengenalkan Islam ke kalangan masyarakat perkotaan, maka
kiai sahal dianggap sebagai tokoh yang mengenalkan jargon “Fiqh Sosial”.
Sementara
untuk kalangan umat NU, kiai Sahal dianggap lebih dari sekedar manusia biasa.
Semasa hidup, Beliau dipandang sebagai sosok manusia luar biasa, sosok seorang
“Wali Allah.” Tak heran jika berbagai pernyataan kontroversialnya sering
di-amin-kan oleh kalangan Nahdhiyin. Mereka memandangnya sebagai wujud dari
“sak durunge winarah”, salah satu ke-cirian seorang Wali (kalo tidak
berlebihan).
Bagi kupu-kupu
malam Indonesia, terutama kalangan minoritas, mbah sahal dilantik secara tak
resmi sebagai “pembela aspirasi PSK”. Untuk kalangan minoritas sosoknya
demikian dikenang dan dihormati. Bukan tanpa alasan pernyataa kyai sahal
tentang Legalisasi tempat pelacuran mendapat hati tersendiri di Kalangan para
bidadari malam., Kiai sahal juga dinilai layak menyandang gelar “bapak
sosialis”.
Dengan
segala rekam jejak positif kiai Sahal, maka tak heran jika kepergiannya
ditangisi oleh banyak pihak dan diantarkan oleh lautan manusia. Kehadiran
puluhan ribu orang dan maraknya acara pemakaman Sahal di seluruh pelosok
Indonesia menjadi pertanda bahwa kita sangat merindukan kehadiran kembali sosok
seperti layaknya Beliau, sekaligus bangsa merasa kehilangan oleh sosok sekelas
Beliau. Bagi kalangan santri, lautan manusia yang memadati acara pemakaman kiai
Sahal semakin menegaskan indikasi bahwa kiai Sahal ialah orang “Ngalim”.
Akhirnya,
kini, mata dan raga Kiai Sahal memang “tertidur” panjang, namun hati, jiwa,
semangat dan buah pikirnya senantiasa ada untuk diestafet-kan kepada
generasi-generasi muda NU dan bangsa selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar